Kamis, 19 Mei 2011

Perbedaan Mani, Madzi, Kencing, dan Wadi

Tahukah anda perbedaan dari keempat hal tersebut?. Mengetahui hal ini adalah hal yang sangat penting, khususnya perbedaan antara mani dan madzi, karena masih banyak di kalangan kaum muslimin yang belum bisa membedakan antara keduanya. Yang karena ketidaktahuan mereka akan perbedaannya menyebabkan mereka ditimpa oleh fitnah was-was dan dipermainkan oleh setan. Sehingga tidaklah ada cairan yang keluar dari kemaluannya (kecuali kencing dan wadi) yang membuatnya ragu-ragu kecuali dia langsung mandi, padahal boleh jadi dia hanyalah madzi dan bukan mani. Sudah dimaklumi bahwa yang menyebabkan mandi hanyalah mani, sementara madzi cukup dicuci lalu berwudhu dan tidak perlu mandi untuk menghilangkan hadatsnya.
Karenanya berikut definisi dari keempat cairan di atas, yang dari definisi tersebut bisa dipetik sisi perbedaan di antara mereka:
1.    Kencing: Masyhur sehingga tidak perlu dijelaskan, dan dia najis berdasarkan Al-Qur`an, Sunnah, dan ijma’.
2.    Wadi: Cairan tebal berwarna putih yang keluar setelah kencing atau setelah melakukan pekerjaan yang melelahkan, misalnya berolahraga berat. Wadi adalah najis berdasarkan kesepakatan para ulama sehingga dia wajib untuk dicuci. Dia juga merupakan pembatal wudhu sebagaimana kencing dan madzi.
3.    Madzi: Cairan tipis dan lengket, yang keluar ketika munculnya syahwat, baik ketika bermesraan dengan wanita, saat pendahuluan sebelum jima’, atau melihat dan mengkhayal sesuatu yang mengarah kepada jima’. Keluarnya tidak terpancar dan tubuh tidak menjadi lelah setelah mengeluarkannya. Terkadang keluarnya tidak terasa. Dia juga najis berdasarkan kesepakatan para ulama berdasarkan hadits Ali yang akan datang dimana beliau memerintahkan untuk mencucinya.
4.    Mani: Cairan tebal yang baunya seperti adonan tepung, keluar dengan terpancar sehingga terasa keluarnya, keluar ketika jima’ atau ihtilam (mimpi jima’) atau onani -wal ‘iyadzu billah-, dan tubuh akan terasa lelah setelah mengeluarkannya.
Berhubung kencing dan wadi sudah jelas kapan waktu keluarnya sehingga mudah dikenali, maka berikut kesimpulan perbedaan antara mani dan madzi:
a.    Madzi adalah najis berdasarkan ijma’, sementara mani adalah suci menurut pendapat yang paling kuat.
b.    Madzi adalah hadats ashghar yang cukup dihilangkan dengan wudhu, sementara mani adalah hadats akbar yang hanya bisa dihilangkan dengan mandi junub.
c.    Cairan madzi lebih tipis dibandingkan mani.
d.    Mani berbau, sementara madzi tidak (yakni baunya normal).
e.    Mani keluarnya terpancar, berbeda halnya dengan madzi. Allah Ta’ala berfirman tentang manusia, “Dia diciptakan dari air yang terpencar.” (QS. Ath-Thariq: 6)
f.    Mani terasa keluarnya, sementara keluarnya madzi kadang terasa dan kadang tidak terasa.
g.    Waktu keluar antara keduanyapun berbeda sebagaimana di atas.
h.    Tubuh akan melemah atau lelah setelah keluarnya mani, dan tidak demikian jika yang keluar adalah madzi.
Karenanya jika seseorang bangun di pagi hari dalam keadaan mendapatkan ada cairan di celananya, maka hendaknya dia perhatikan ciri-ciri cairan tersebut, berdasarkan keterangan di atas. Jika dia mani maka silakan dia mandi, tapi jika hanya madzi maka hendaknya dia cukup mencuci kemaluannya dan berwudhu. Berdasarkan hadits Ali -radhiallahu anhu- bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda tentang orang yang mengeluarkan madzi:
اِغْسِلْ ذَكَرَكَ وَتَوَضَّأْ
“Cucilah kemaluanmu dan berwudhulah kamu.” (HR. Al-Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)
[Update: Anas bin Malik -radhiallahu anhu- berkata:
أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ حَدَّثَتْ أَنَّهَا سَأَلَتْ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمَرْأَةِ تَرَى فِي مَنَامِهَا مَا يَرَى الرَّجُلُ, فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا رَأَتْ ذَلِكِ الْمَرْأَةُ فَلْتَغْتَسِلْ. فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ: وَاسْتَحْيَيْتُ مِنْ ذَلِكَ. قَالَتْ: وَهَلْ يَكُونُ هَذَا؟ فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ, فَمِنْ أَيْنَ يَكُونُ الشَّبَهُ؟! إِنَّ مَاءَ الرَّجُلِ غَلِيظٌ أَبْيَضُ وَمَاءَ الْمَرْأَةِ رَقِيقٌ أَصْفَرُ فَمِنْ أَيِّهِمَا عَلَا أَوْ سَبَقَ يَكُونُ مِنْهُ الشَّبَهُ
“Bahwa Ummu Sulaim pernah bercerita bahwa dia bertanya kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam tentang wanita yang bermimpi (bersenggama) sebagaimana yang terjadi pada seorang lelaki. Maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Apabila perempuan tersebut bermimpi keluar mani, maka dia wajib mandi." Ummu Sulaim berkata, "Maka aku menjadi malu karenanya". Ummu Sulaim kembali bertanya, "Apakah keluarnya mani memungkinkan pada perempuan?" Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Ya (wanita juga keluar mani, kalau dia tidak keluar) maka dari mana terjadi kemiripan (anak dengan ibunya)? Ketahuilah bahwa mani lelaki itu kental dan berwarna putih, sedangkan mani perempuan itu encer dan berwarna kuning. Manapun mani dari salah seorang mereka yang lebih mendominasi atau menang, niscaya kemiripan terjadi karenanya." (HR. Muslim no. 469)
Imam An-Nawawi  berkata dalam Syarh Muslim (3/222), "Hadits ini merupakan kaidah yang sangat agung dalam menjelaskan bentuk dan sifat mani, dan apa yang tersebut di sini itulah sifatnya di dalam keadaan biasa dan normal. Para ulama menyatakan: Dalam keadaan sehat, mani lelaki itu berwarna putih pekat dan memancar sedikit demi sedikit di saat keluar. Biasa keluar bila dikuasai dengan syahwat dan sangat nikmat saat keluarnya. Setelah keluar dia akan merasakan lemas dan akan mencium bau seperti bau mayang kurma, yaitu seperti bau adunan tepung.
Warna mani bisa berubah disebabkan beberapa hal di antaranya: Sedang sakit, maninya akan berubah cair dan kuning, atau kantung testis melemah sehingga mani keluar tanpa dipacu oleh syahwat, atau karena terlalu sering bersenggama sehingga warna mani berubah merah seperti air perahan daging dan kadangkala yang keluar adalah darah.”]
Tambahan:
1.    Mandi junub hanya diwajibkan saat ihtilam (mimpi jima’) ketika ada cairan yang keluar. Adapun jika dia mimpi tapi tidak ada cairan yang keluar maka dia tidak wajib mandi. Berdasarkan hadits Abu Said Al-Khudri secara marfu’:
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ
“Sesungguhnya air itu hanya ada dari air.” (HR. Muslim no. 343)
Maksudnya: Air (untuk mandi) itu hanya diwajibkan ketika keluarnya air (mani).
2.    Mayoritas ulama mempersyaratkan wajibnya mandi dengan adanya syahwat ketika keluarnya mani -dalam keadaan terjaga. Artinya jika mani keluar tanpa disertai dengan syahwat -misalnya karena sakit atau cuaca yang terlampau dingin atau yang semacamnya- maka mayoritas ulama tidak mewajibkan mandi junub darinya. Berbeda halnya dengan Imam Asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm yang keduanya mewajibkan mandi junub secara mutlak bagi yang keluar mani, baik disertai syahwat maupun tidak. Wallahu a’lam.
Demikian sekilas hukum dalam masalah ini, insya Allah pembahasan selengkapnya akan kami bawakan pada tempatnya.

Sumber: http://al-atsariyyah.com

Ku Ingin Belajar Mencintai-IMU...

Bismillahirrohmaanirrohiim...

Berkisah tentang cinta, tak akan pernah ada ujungnya, indah, menarik untuk dibahas, kan selalu hadir dalam setiap zaman. ku coba untuk menulis sepenggal kisah dua insan yang membahas tentang suatu warna cinta. Semoga bermanfaat...

Allah Ta'ala berfirman, " Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan terhadap apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik (syurga)" (Ali Imran:14).

Pengajian yang diadakan fakultas Kesehatan Masyarakat baru saja usai. Ustadz Imran membahas tentang bagaimana hukum pacaran dalam islam. beliau menyajikan dengan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti. setelah peserta pengajian tinggal beberapa orang lagi, Fauzan memberi isyarat pada Riani untuk menunggunya sebentar. mereka duduk dipelataran mesjid dengan jarak yang agak berjauhan, berbincang sejenak.
" de, maaf kalau kaka ganggu waktunya sebentar, ada hal yang ingin kaka bicarakan sebentar, tentang apa yang telah kita jalani beberapa bulan ini" Fauzan membuka pembicaraan.
"iya ka, silahkan" jawab Riani.
"de, ade tadi denger nggak ceramah yang barusan disampaikan sama ustadz Imran?, apa yang ade rasakan, apa yang ade pikirkan?, tanya Fauzan hati-hati.
"emm, ade berfikir, apa yang kita lakukan salah, ka...ade berfikir ingin membatasi komuniksi diantara kita, maaf , tapi itu yang ade pikirkan selama ustadz berbicara tadi. ade takut ka, kita malah terjerembab pada lembah zina, padahal Allah jelas-jelas melarang kita untuk mendekati zina. ya, walaupun kita cuma sekedar diskusi, cerita-cerita, tidak seperti yang dilakukan kaula muda pada umumnya sampai memang mereka benar-benar dah jatuh pada hukum zina tersebut. tapi apa yg kita lakukan bisa membuat hati kita saling merindu, terus ingat, ingin senantiasa ngobrol karena ada kenyaman diantara kita. sedangkan hal tersebut itu salah, telah banyak waktu yang telah kita sia-siakan ya ka, bahkan hal tersebut bisa menjatuhkan kita pada syirik, menyekutukan Allah dengan orang yang kita sayangi. Naudzubillah, ka" ucap Riani panjang lebar sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam dengan suara tertahan.
"Alhamdulillah...kaka pun berfikir hal serupa de. kaka berniat untuk membatasi komunikasi diantara kita, guna menjaga hati, pikiran kita dari hal-hal yang telah Allah larang" suara Fauzan terdengar lagi.
"De, Ade mau janji pada Kaka??", tanya ?Fauzan melanjutkan.
"Janji apa,Ka?", jawab Riani,
" Mau kah Ade berjanji, seandainya Ade merindui Kaka, Ade pergi untuk bertilawah?, atau Ade bermunajah pada Dzat Penggenggam hati-hati ini biarkan Dia yang akan melakukan apa yang ingin Dia lakukan pada kita, yang penting kita belajar untuk menjaga benih-benih ini dari nafsu, dari hal-hal yang akan mengundang murkaNya...", timpal fauzan melanjutkan. "De, mudah-mudahan dengan begitu, Alloh kan menjaga kita dan anugrah yang bersemayam dihati ini" tandas Fauzan.
" Iya, insyaAlloh, Ade berjanji Ka, Ade juga ngerti dan sadar, benih ini bukan kita yang minta, tapi benih ini adalah tumbuh dengan izinNya, benih ini bukanlah aib, tapi adalah karuniaNya yang harus kita jaga, kita rawat, kiita pelihara agar dia sehat, tumbuh menjadi tanaman yang kan menjadi pohon Mahabatulloh, Mahabaturrosul...bukan malah menjadi pohon benalu yang akan merusak inangnya, atau pohon yang kan menghasilkan bau busuk yang tidak enak untuk dicium" balas Riani, dengan hati yang bercampur antara bahagia karena dia telah menyayangi seseorang yang sedang berazzam mencintai Rabb-nya dari pada dia, dengan perasaan cemas karena khawatir dia tidak bisa menjaga benih yang mulai tumbuh dihatinya.
" Iya, De, Kaka menyadari, benih ini adalah fitrah yang Dia karuniakan pada mahlukNya yang mulai dewasa, akan tetapi, kita belum waktunya untuk menumbuhkan benih ini sebelum terbingkai dalam ikatan pernikahan, sebelum ijab qobul terikrarkan. karena sebelum ikrar itu diucapkan, kita belum dibenarkan oleh syariat, karena tidak tahu apakah kita berjodoh atau tidak, dan biarkan benih-benih ini tumbuh pada saatnya, dia kan INDAH PADA WAKTUNYA"
"Ade ada pesan untuk kaka, sebelum kita akan memutuskan semua komunikasi kita?", tanya Fauzan.
"Pesan ade untuk kaka, jaga diri kaka baik-baik, jangan lupa akan janji kita, apabila rasa itu menyelimuti relung hati kita, kita wudhu, kita bertilawah, andai kita tidak kuasa mengendalikannya, bersujudlah, ungkapkanlah isi hati kita, jika ingin menangis, menangislah dalam sujud-sujud panjang kita, jangan sampai kita umbar perasaan kita pada mahlukNya, kita cuma ungkapkan perasaan kita ini hanya pada Dzat Yang telah Menumbuhkan rasa ini, pada Penggenggam hati-hati kita, pada Yang Maha Kuat, pada Yang Maha Kuasa...mungkin itu pesan Ade, Ka",  balas Riani. "Pesan Kaka untuk Ade?", Riani balik bertanya.
"Udah?", tanya Fauzan.
" Iya, Ka, cukup " kata Riani.
"Emmm, Pesan Kaka mirip dengan pesan Ade untuk Kaka, Kaka harap Kita bisa menjaga benih ini ya, jangan sampai rasa ini melebihi cinta kita pada Allah, Kekasih sejati kita, pada rasul dan pada jihad dijalanNYa. Kaka tidak berharap Kita menjadi mahluk kerdil yang diperbudak oleh nafsu. Terus lagi, selama menanti masanya tiba, Kaka harap Kita terus memperbaiki diri Kita, menghiasi detik-detik Kita dengan hal-hal yang bisa mendatangkan cintaNYa, semoga dengan hal tersebut Allah melimpahkan karuniaNya pada Kita, andai Kita tidak berjodoh, pasangan hidup yang mempunyai tujuan yang sama yaitu yang sama-sama berlomba ingin mendapatkan ridhoNya. De, andai sebelum waktunya tiba, ada ikhwan yang bagus agamanya mempunyai maksud terhadap Ade, Ade jangan merasa terhalangi oleh Kaka, Kaka ridho seandainya Ade menyegerakan menyempurnakan setengan dien Ade, walau bukan dengan Kaka. Kaka mengatakan hal ini, bukan karena Kaka tidak berharap Ade yang akan mendampingi Kaka, justru karena Kaka sayang sama Ade, karena Kaka cinta sama Ade karenaNYa, karena kaka sadar, jodoh itu telah tertulis dalam kitab lauhil mahfudz, ketika Dia berkehendak, tidak ada yang akan terjadi kecuali kehendakNya. Kaka ikhlas, De, InsyaAlloh... Kaka yakin andai Kita jodoh, sejauh apapun jarak memisahkan Kita, sebanyak apapun masalah yang dihadapi, seperti apapun tantangan yang ada, Kita pasti akan dipersatukan oleh takdirNya, tapi jika Kita bukan jodoh walau sedekat apapun Kita, Kita tidak akan pernah bisa bersatu, Kaka yakin akan hal itu, De" , tegas Fauzan, panjang lebar.
" Benar Ka, Ade pun meyakini hal itu, Ade faham, Ka..." balas Riani.
"Ade fahamkan maksud kaka?", tanya Fauzan menegaskan.
"Ya, ade faham ka" jawab Riani dengan mantap.
"De, ini komunikasi kita yang terakhir ya, kaka akan komunikasi sama keluarga ade aja, mungkin kaka akan tanya kabar Ade lewat aa", ungkap Fauzan.
"Iya Ka, silahkan, Ade akan berusaha menjaga diri dan hati Ade, Ade akan berusaha menjaga izzah Ade sebagai muslimah, Ade akan terus belajar memperbaiki diri dan menjaga hati ini sampe pangeran syurga itu datang menjemput Ade untuk mengikrarkan ijab qobul dihadapan keluarga Ade, inysaAlloh" jawab Riani dengan lebih yakin.
kemudian mereka kembali menuju tujuannya masing-masing, dengan hati yang penuh syukur, karena Allah telah memberikan nikmat yang tak ternilai harganya, nikmat iman, islam dan hidayahNya. Alhamdulillah Ya Rabb...

bila ku jatuh cinta, cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya padaMU agar bertambah kekuatanku untuk mencintaiMU, ya muhaimin , jika ku jatuh cinta , jagalah cintaku padanya agar tidak melebihi cintaku padaMU
ya Alloh jika ku jatuh hati, izinkan aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut padaMU agar tidak jatuh aku dalam jurang cinta semu
ya rabbana, jika aku jatuh hati , jagalah hatiku padanya agar tidak brpaling dari hatiMU
Ya Rabbul Izzati, jika aku rindu, rindukalah aku pada seseorang merindukan syahid di jalan-MU
Ya Alloh, jika aku rindu, jagalah rinduku padanya agar tidak melalaikan diriku untuk merindukan Syurga-MU
Ya Alllah, jika aku menikmati cinta kekasih-MU, janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhir-MU
Ya Alloh, jika aku jatuh hati pada kekasih-MU, jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepada-MU
Ya Allah, jika Engkau menghalalkan aku merindui kekasih-MU,  jangan biarkan aku melampaui batas sehingga melupakan aku pada cinta hakiki dan rindu abadi hanya pada-MU
Ya Alloh, Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah terhimpun dalam cinta kepadaMU,  telah berjumpa dalam taat kepadaMU, telah bersatu dalam dakwah kepadaMU, dan telah terpadu dalam membela syariatMU, kukuhkanlah ikatannya, Ya Allah, kekalkanlah cintanya, tunjukillah jalan-jalannya,  penuhilah hati-hati kami dengan Nur cahaya -MU yang tiada pernah pudar, lapangkan dada-dada kami dengan limpahan keimanan kepadaMU dan keindahan bertawakal kepada-Mu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan penolong, Ya Rabb. aamiin...

Rabu, 18 Mei 2011

MENGENAL HUKUM-HUKUM HAID

Pembahasan fiqhi kita pada edisi ini sudah sampai pada bab terakhir dari kitab tentang thaharah (bersuci), yaitu bab tentang haid, nifas dan istihadhah. Bab ini termasuk bab terpenting dalam masalah thaharah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abidin -rahimahullah- dalam Radd Al-Muhtar (1/282), “Mengetahui masalah-masalah yang ada di dalamnya termasuk dari perkara-perkara penting yang terbesar, karena banyak sekali hukum-hukum yang dibangun dari masalah (haid) ini.” Karenanya wajib atas seorang wanita atau yang bertanggung jawab terhadapnya untuk mempelajari masalah haid ini. Asy-Syarbini  -rahimahullah- berkata dalam Mughni Al-Muhtaj (1/120), “Wajib atas wanita untuk mempelajari ilmu yang dia butuhkan berupa hukum-hukum haid, istihadhah, dan nifas. Kalau suaminya berilmu tentangnya maka dia harus mengajari istrinya, dan kalau tidak maka boleh bagi wanita tersebut untuk keluar rumah guna bertanya kepada ulama, bahkan itu wajib atasnya. Dan diharamkan bagi suaminya (dalam hal ini) untuk melarangnya keluar, kecuali kalau dia (suami) yang bertanya lalu mengabarkan jawabannya kepada istrinya sehingga istrinya tidak perlu keluar.”
Dan sudah masyhur di kalangan ulama bahwa bab haid ini termasuk dari bab tersulit dalam bab-bab fiqhi, sampai-sampai masyhur dari Imam Ahmad -rahimahullah- bahwa beliau berkata, “Saya duduk mempelajari masalah haid selama 9 tahun sampai akhirnya saya bisa memahaminya.” Karenanya untuk mendekatkan pemahaman masalah ini kepada kaum muslimin sekalian -terkhusus kaum muslimah-, kami mencoba untuk meringkas masalah-masalah yang terdapat dalam bab haid ini, wallahul muwaffiq.
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa darah yang keluar dari kemaluan wanita ada tiga jenis: Darah haid, darah nifas, dan darah istihadhah.
Definisi Haid.
Haid secara bahasa bermakna mengalir.
Adapun secara istilah, Al-Bahuti berkata, “Dia adalah darah kebiasaan wanita yang berasal dari dasar rahim, pada waktu-waktu tertentu.” (Ar-Raudh Al-Murbi’ -Hasyiah Ibni Qasim-: 1/370) Dan sebagian ulama ada yang menambahkan definisinya: Bukan dikarenakan sebab melahirkan.
Ucapan Al-Bahuti, “Darah kebiasaan,” maka bukan tergolong haid, darah yang keluar karena adanya penyakit dan semacamnya.
Kalimat ‘dalam rahim, menunjukkan darah istihadhah bukanlah haid karena dia berasal dari urat yang pecah yang bernama al-adzil.
‘Pada waktu-waktu tertentu’ maksudnya: Darah haid ini keluar pada waktu-waktu tertentu saja, yang mana waktu tertentu tersebut sudah diketahui oleh setiap wanita dan mereka menamakannya sebagai adat keluarnya haid.
‘Bukan dikarenakan sebab melahirkan’, keluar darinya darah nifas, karena dia keluar akibat melahirkan.
[Lihat: Al-Ahkam Al-Mutarattibah ala Al-Haidh wa An-Nifas wa Al-Istihadhah hal. 13-14]
Ciri-Ciri Darah Haid.
Dia adalah darah tebal yang keluar dari rahim, berwarna hitam lagi busuk baunya, dan setelah keluar tetap dalam keadaan cair.
Ciri-ciri di atas harus diperhatikan dengan baik, karena akan diterangkan bahwa darah istihadhah mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengannya. Sementara hukum-hukum haid dan istihadhah itu berbeda. Karenanya barangsiapa yang tidak bisa membedakan antara kedua jenis darah ini maka dia akan terjatuh dalam kesalahan dalam memberikan hukum pada wanita yang terkena haid atau istihadhah.
Najisnya Darah Haid.
Darah haid adalah najis berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran (najis).” (QS. Al-Baqarah: 222). Adapun dari As-Sunnah, maka Rasulullah  bersabda tentang pakaian yang terkena darah haid, “Hendaknya dia mengeruknya lalu menggosoknya dengan air lalu menyiramnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Asma` bintu Abi Bakr) Dan ini jelas menunjukkan najisnya. Dan An-Nawawi menukil ijma’ kaum muslimin akan najisnya darah haid.
Penentuan Masa Haid.
Ada dua perkara yang dijadikan sandaran dalam menentukan masa haid:
1.    Adat. Yaitu lama biasanya darah haid keluar dari seorang wanita setiap bulannya. Misalnya kalau setiap bulan darah haidnya keluar selama 7 hari, maka berarti adat haidnya 7 hari. Kalau biasanya haid keluar setiap akhir bulan selama sekitar 5 atau 6 hari, maka berarti adat dia setiap akhir bulan berkisar antara 5 atau 6 hari. Demikian seterusnya.
Dalilnya adalah sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam- kepada Fathimah binti Jahsy, “… akan tetapi tinggalkanlah shalat selama hari-hari yang biasanya kamu haid pada hari-hari itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah)
Perlu diketahui bahwa suatu durasi dikatakan dia sebagai adat dari wanita tersebut kalau durasi itu berulang selama tiga kali berturut-turut. Karenanya wanita yang pertama kali haid belum bisa diketahui berapa adatnya, sampai dilihat kapan darahnya keluar pada bulan pertama haidnya. Kalau pada bulan kedua dan ketiga, darah haid keluar pada waktu yang sama pada bulan pertama maka barulah dikatakan itu adalah adat haidnya, wallahu a’lam. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah, Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dan Asy-Syaikh Muqbil -rahimahumullah-.
2.    Tamyiz. Yaitu dengan memperhatikan darah yang keluar dari kemaluannya. Kalau yang keluar sesuai dengan ciri-ciri haid yang telah disebutkan di atas maka berarti dia sekarang terkena haid. Tapi kalau tidak sesuai dengan ciri-ciri haid maka berarti dia tetap suci walaupun ada darah yang keluar.
Dalilnya adalah sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam- kepada Fathimah binti Abi Hubaisy yang terkena istihadhah, “Itu hanyalah urat yang pecah dan bukan darah haid. Kalau darah haid sudah datang maka tinggalkanlah shalat dan kalau dia sudah berlalu maka cucilah darah darimu lalu shalatlah.” (HR. Al-Bukhari no. 306 dan Muslim no. 333)
Dalah hadits ini beliau menjadikan tanda datangnya haid adalah dengan datangnya darah yang sesuai dengan ciri-ciri haid.
Tanda Datang dan Selesainya Haid.
Datangnya haid ditandai dengan keluarnya darah hitam lagi busuk, pada waktu-waktu yang biasanya dia haid di situ.
Adapun selesainya haid, maka bisa diketahui dengan dua cara:
1.    Keluarnya al-qashshah al-baidha`, yaitu cairan putih yang keluar dari kemaluannya di akhir masa adat haid.
Aisyah -radhiallahu anha- berkata kepada para wanita, “Janganlah kalian tergesa-gesa (mandi suci) sampai kalian melihat al-qashshah al-baidha`,” yang dia maksudkan adalah tanda suci dari haid. (HR. Malik hal. 59 dan Abdurrazzaq: 1/302)
2.    Dengan al-jufuf, yaitu seorang wanita meletakkan kain katun atau yang semacamnya ke dalam kemaluannya, kalau kainnya kering maka berarti dia telah suci.
Durasi Minimal dan Maksimal Masa Haid.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini.
Ibnu Al-Mundzir berkata, “Ada sekelompok ulama yang berpendapat bahwa masa haid itu tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”.
Pendapat ini seperti pendapat Ad-Darimi di atas dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al Qur’an, Sunnah dan logika.” Selesai ucapan Asy-Syaikh.
Jadi, tidak ada durasi minimal dan maksimal masa haid, akan tetapi semua ini dikembalikan kepada adat kebiasaan seorang wanita. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran”, oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci…” (QS. Al Baqarah: 222).
Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari semalam, atau tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat (alasan) hukum (larangan menjauhui istri) adalah haid, yakni ada atau tidaknya.
Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci (tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut. Ini adalah pendapat Ali bin Abi Thalib, Imam Malik, Maimun bin Mihran, Al-Auzai dan Daud Azh-Zhahiri, serta dikuatkan pula oleh Imam Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiah dan Ibnu Rajab.
Usia Minimal dan Maksimal Wanita Terkena Haid.
Tidak ada keterangan dari Al-Kitab dan As-Sunnah dalam masalah ini, maka yang benarnya dikembalikan kepada adat kebiasaan seorang wanita. Kapan ada darah yang keluar dari kemaluannya pada masa-masa yang biasanya dia haid di situ dan ciri-cirinya adalah darah haid, maka itu dihukumi sebagai haid, berapapun usia wanita tersebut.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Utsaimin berkata, “Usia haid biasanya antara 12 sampai 50 tahun. Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya. Para ulama, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi usia haid, di mana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut?
Ad-Darimi, setelah menyebutkan pendapat-pendapat dalam masalah ini, mengatakan: “Hal ini semua, menurut saya keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimanapun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu”. Pendapat Ad Darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Jadi kapanpun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun atau di atas 50 tahun. Sebab Allah Ta’ala dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut. Maka dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan pada masalah di atas tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut.”
Ini juga adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Al-Mundzir, An-Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahumullah-.

Sumber: http://al-atsariyyah.com